Jakarta – Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menilai penerbitan Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tertanggal 9 Desember 2025 merupakan langkah berani dan penuh risiko yang diambil oleh pimpinan Polri (Kapolri) dalam menghadapi situasi nasional yang kian kompleks.
Menurut Sugeng, kondisi politik, ekonomi, dan sosial Indonesia saat ini telah memasuki fase VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity). Dalam situasi demikian, kata dia, dibutuhkan kepemimpinan organisasi yang berani mengambil keputusan strategis demi menyelamatkan institusi dan anggotanya.
“Perpol 10 Tahun 2025 adalah langkah berani seorang pimpinan Polri untuk menyelamatkan organisasi dan anggota dalam situasi VUCA yang sangat nyata hari ini,” ujar Sugeng dalam keterangannya, hari ini.
Sugeng menjelaskan, secara normatif Polri berada dalam posisi serba sulit. Di satu sisi, tuntutan kepastian hukum menjadi prinsip yang harus dijunjung. Namun di sisi lain, kondisi negara sendiri tengah berada dalam ambiguitas kebijakan, bahkan pada level pimpinan negara, yang menjauh dari konsistensi kepastian dan ketaatan hukum.
“Jika Polri dipaksa sepenuhnya mengikuti kepastian hukum dalam kondisi ambiguitas seperti sekarang, justru akan melahirkan ketidakadilan. Semua lembaga negara saat ini sedang mencari jalan selamatnya masing-masing,” tegasnya.
Ia juga mengulas konsep antinomi hukum, yakni dua norma atau prinsip yang tampak bertentangan tetapi tidak dapat saling menegasikan. Hal inilah, menurutnya, yang sedang terjadi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114.
Sugeng mencontohkan, apabila Polri memilih jalan kepastian hukum secara kaku, maka yang muncul adalah ketimpangan kelembagaan. Sebab pada saat yang sama, UU TNI Nomor 3 Tahun 2025 Pasal 47 ayat (1) secara tegas membuka ruang bagi prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan di sejumlah kementerian dan lembaga negara tanpa harus pensiun, yang berarti telah masuk ke ranah jabatan sipil.
“Ini menciptakan ketidakseimbangan. TNI diberi ruang jelas di jabatan sipil, sementara Polri dibatasi. Dalam konteks ini, posisi Polri menjadi tidak adil,” jelasnya.
Sugeng mengakui bahwa kebijakan Polri tersebut berpotensi dipandang tidak sepenuhnya sejalan dengan Putusan MK. Namun ia menilai, dalam situasi VUCA, seorang pimpinan organisasi memiliki tanggung jawab strategis untuk memperjuangkan kepentingan institusi, anggota, dan masyarakat luas.
“Tidak taat pada putusan MK, iya. Tapi dalam kondisi VUCA, ada kepentingan besar yang harus diperjuangkan demi kebaikan institusi, anggota Polri, dan masyarakat,” ujarnya.
Ia menegaskan, masuknya TNI ke ranah sipil harus diimbangi dengan kehadiran Polri di ranah institusi sipil, agar tidak terjadi ketimpangan kekuasaan dan fungsi antar-lembaga negara.
“Posisi TNI di ranah sipil harus diimbangi oleh Polri di ranah institusi sipil. Ini soal keseimbangan, keadilan, dan keberlangsungan sistem kenegaraan,” pungkas Sugeng.
